Sistem Ekonomi dalam Islam ditegakkan diatas tiga tiang utama, yakni konsep kepemilikan (al-milkiyah) , pemanfaatan kepemilikan (al-thasharruf fi al-milkiyah) dan distribute kekayaan diantara manusia (tauzi’u tsarwah bayna al-naas).
Kepemilikan ini dibagi tiga, yakni (1) kepemilikan individu (milkiyatu al-fardiyah) , yaitu kepemilikan atas izin syar’i pada seseorang untuk memanfaatkan harta itu kerana sebab-sebab kepemilikan harta yang diakui oleh syara’; (2) kepemilikan umum (milkiyatul al-‘amah), adalah harta yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari (api, padang rumput, sungai, danau, jalan, lautan, mesjid, udara, emas, perak dan minyak wangi.dsb) yang dimanfaatkan secara bersama-sama. Pengelolaan milik umum ini hanya dilakukan oleh negara untuk seluruh rakyat, dengan diberikan percuma atau dengan harga murah hanya mengambil sedikit upah perkhidmat ; dan (3) kepemilikan negara (milkiyatul al-daulah), harta yang pemanfaatannya berada ditangan seorang pemimpin sebagai kepala negara. Misalnya harta ghanimah, fa’I, khumus, kharaf, jizyah, i/5 harta rikaz, ushr, harta orang murtad, harta orang yang tak memiliki ahli waris dan tanah hak milik negara. Milik negara digunakan untuk berbagai keperluan yang menjadi kewajiban negara, seperti menggaji pegawai negara, keperluan jihad dan sebagai.
Kepemilikan individu adalah izin dari syara’ (Allah SWT) yang memungkinkan siapa saja untuk memanfaatkan dzat maupun kegunaan (utility) suatu barang serta memperoleh kompensasi – baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dibeli – dari barang tersebut (AnNabhani, 1996; Yusanto, 1998). Setiap orang bisa memiliki barang atau harta melalui cara-cara tertentu, yang disebut sebab-sebab kepemilikan (asbabu al-tamalluk) .
Pengkajian terhadap hukum-hukum syara’ menunjukkan bahwa sebab-sebab kepemilikan individu terdiri dari lima perkara, yakni:
• Bekerja (al-a'mal)
• Warisan (al-irts)
• Harta untuk menyambung hidup
• Harta pemberian negara (i'thau al-daulah)
• Harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan daya dan upaya apapun.
Dalam konteks bisnes, dari kelima sebab di atas hanya sebab pertamalah yang dapat dikategorikan ke dalam kegiatan bisnes. Bekerja dalam pandangan Islam diarahkan dalam rangka mencari kurnia rezki Allah SWT. Yakni untuk mendapatkan harta agar seseorang dapat mencukupi keperluan hidupnya, sejahtera dan dapat menikmati perhiasan dunia. Dan agar bernilai ibadah, maka pekerjaan yang dilakukan itu harus merupakan pekerjaan yang halal. Sehingga harta yang didapatnya juga merupakan harta yang sah atau halal karena melalui cara yang halal.
Wujud bekerja sangat luas, jenisnya bermacam-macam, bentuknya pun beragam. Hasilnya juga berbeza-beza. Secara umum, dapat dikategorikan dalam dua golongan aktiviti, yakni: (1) bekerja untuk mendapatkan harta (akhdu al-mal) dan (2) bekerja untuk mengembangkan harta (tanmiyatu al-mal). Keduanya berada dalam ranah aktiviti bisnes, baik dilakukan dalam bentuk usaha sendiri maupun dalam bentuk usaha bersama (syarikah).
Bekerja merupakan pengamalan dari perintah syariat Islam. Karenanya bila dilakukan dengan cara yang benar (halal) untuk mengerjakan sesuatu yang juga halal, bekerja bukan hanya akan menghasilkan harta tapi juga mendapatkan pahala dari
Allah SWT.
“Maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah anugerah dari Allah”
(QS Al Jumu’ah : 10)
Sekalipun demikian, satu hal yang harus dipahami oleh setiap muslim adalah bahwa rezeki atau diperoleh tidaknya harta oleh seseorang sepenuhnya merupakan kekuasaan Allah. Harta yang dimiliki manusia pada hakikatnya adalah milik Allah (Q.S. 24: 33) yang diberikan atau diserahkan manfaatkan dan dikuasakan (Istikhlaf) kepada manusia (Q.S.57: 7). Makna rezeki sendiri memang adalah a’tha (pemberian), dan manusia diwajibkan untuk mencari rezeki. Tentang hal ini, manusia dituntut agar dapat menciptakan keadaan (al-hal) agar rezeki itu datang serta memanfaatkannya melalui jalan yang benar dan bertanggung jawab. Inilah makna dari ungkapan al-rizqu bi yadillahi wahdahu (rezeki di tangan Allah semata). Bisa terjadi, seseorang sudah bekerja sekuat tenaga, misalnya membuka syarikat konsultan lengkap dengan segala kelengkapan yang diperlukan, tapi dua bulan sudah berjalan tak satupun pekerjaan ataupun projek bias di dapatkan. Sebaliknya, kadang tanpa diduga, di saat kita sebenarnya tidak terlalu siap, mengalir deras order dari berbagai tempat. Jadi, jelaslah bahwa bekerja hanyalah merupakan keadaan (al-hal) yang harus diusahakan agar “rezeki di tangan Allah” tersebut datang. Dan datangnya pun tidak melulu melalui bekerja. Ada empat cara lainnya sebagaimana telah disebut di atas, di luar bekerja, yang memungkinkan datangnya rezeki ke tangan kita.
Oleh karena itu, tiap muslim wajib mengusahakan perolehan harta secara halal sehingga menghasilkan kepemilikan yang benar menurut Islam (Hasan, 1999; Abdurrahman, 1999). Dengannya, bisnes penuh ‘berkat’ dan berkah benar-benar dapat diwujudkan. Insya Allah.
Dikutip dari buku
Menggagas Bisnes Islami, M. Ismail Yusanto & M. Karebet Widjajakusuma, Gema Insani
--
"...dan selepas itu akan kembali Khilafah yang mengikut minhaj kenabian..." [HR Ahmad]
0 comments:
Post a Comment